Kategori: Majalah AsySyariah Edisi 085
Al-Ustadz Mukhtar bin Rifai
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, bersabda,
مَنْ كَانَ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ
القِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ
“Siapa saja orangnya yang memiliki dua istri
lalu lebih cenderung kepada salah satunya, pada hari kiamat kelak ia akan datang
dalam keadaan sebagian tubuhnya miring.”
Takhrij Hadits Hadits ini diriwayatkan oleh Abu
Dawud (no. 2133), an-Nasa’i (2/157), Tirmidzi (1/213), ad-Darimi (2/143), Ibnu
Majah (1969), Ibnu Abi Syaibah (2/66/7), Ibnul Jarud (no. 722), Ibnu Hibban (no.
1307), al-Hakim (2/186), al-Baihaqi (7/297), ath-Thayalisi (no. 2454), dan Ahmad
(2/347, 471) melalui jalur Hammam bin Yahya, dari Qatadah, dari
an-Nadhr bin Anas, dari Basyir bin Nuhaik, dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhuma.
Di dalam Sunan at-Tirmidzi, hadits di atas
diriwayatkan dengan lafadz,
إِذَا كَانَ عِنْدَ الرَّجُلِ امْرَأَتَانِ فَلَمْ يَعْدِلْ بَيْنَهُمَا
جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ سَاقِطٌ
“Apabila seorang laki-laki memiliki dua istri
namun tidak berlaku adil di antara keduanya, pada hari kiamat kelak ia akan
datang dalam keadaan sebagian tubuhnya miring.”
Asy-Syaikh al-Albani mengatakan, “Al-Hakim
menghukumi hadits ini sahih berdasarkan syarat asy-Syaikhain (al-Bukhari
& Muslim). Adz-Dzahabi dan Ibnu Daqiqil ‘Ied sepakat dengan al-Hakim,
sebagaimana dinukilkan oleh al-Hafizh dalam at-Talkhis (3/201) dan beliau
pun menyepakatinya.
Al-Hafizh t menambahkan bahwa al-Imam at-Tirmidzi
menghukumi hadits ini gharib padahal beliau sendiri menyatakannya sahih.
Abdul Haq mengatakan, ‘Hadits ini tsabit, namun ada cacatnya, yaitu
Hammam sendirian meriwayatkannya.’
Asy-Syaikh al-Albani mengatakan, “Cacat semacam
ini tidak membuat hadits menjadi lemah. Oleh karena itu, para ulama secara
berturut-turut menyatakannya sahih.” (Silsilah ash- Shahihah no.
2017, al-Albani)
Islam Menjunjung Nilai-Nilai Keadilan
Islam sangat menjunjung nilai-nilai keadilan.
Bahkan, keadilan menjadi salah satu pilar penting bagi seorang hamba untuk
mewujudkan bangunan Islam. Sikap adil, menurut asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di
rahimahullah, adalah menunaikan hak-hak yang wajib dan memenuhi hak bagi
yang memilikinya.
Ada juga yang memaknai adil sebagai sikap
menentukan hukum sesuai dengan Kitabullah dan sunnah Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam,, bukan semata-mata berdasarkan akal pikiran. Dalam
memutuskan perkara, keadilan mesti menjadi landasan berpijak. Anas bin
Malik radhiyallahu ‘anhu menceritakan bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam, bersabda,
إِذَا حَكَمْتُمْ فَاعْدِلُوْا
“Apabila kalian memutuskan hukum maka
bersikaplah adil!” (Dinyatakan hasan oleh al-Albani dalam
ash-Shahihah [no. 469])
Bahkan, bagi orang tua, sikap adil haruslah
mendasari setiap perhatian kepada anaknya. Nu’man bin Basyir radhiyallahu
‘anhu pernah bercerita, “Aku pernah diberi sesuatu oleh ayahku. ‘Amrah bintu
Rawahah (ibunya) lantas berkata (kepada ayahku), ‘Aku tidak rela (dengan
pemberian ini) sampai engkau meminta persaksian dari Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam,.’ Lantas ayahku menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam, dan menyampaikan, ‘Sesungguhnya aku memberi sesuatu kepada salah
seorang anakku, anak dari ‘Amrah bintu Rawahah.
Amrah menuntutku untuk meminta Anda sebagai
saksi, wahai Rasulullah.’ Rasulullah bertanya, ‘Apakah engkau memberi seluruh
anakmu seperti yang engkau berikan kepada anak itu?’ Ayahku menjawab, ‘Tidak.’
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, bersabda,
فَاتَّقُوا اللهَ وَاعْدِلُوا بَيْنَ أَوْلَادِكُمْ
‘Bertakwalah kalian kepada Allah dan
bersikaplah adil di antara anakanak kalian!’
Akhirnya ayahku pulang dan mengambil kembali
pemberian itu.” (HR. Bukhari 5/2587)
Mengenai bentuk-bentuk keadilan, asy-Syaikh
Muhammad bin Shalih al- ‘Utsaimin rahimahullah pernah menjelaskannya
berkenaan dengan ayat Allah Subhanahu wata’ala di dalam surat an-Nahl, yaitu
firman-Nya,
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي
الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ ۚ يَعِظُكُمْ
لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku
adil, berbuat kebajikan, dan memberi kepada kaum kerabat. Dan Allah melarang
dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran
kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”(an-Nahl: 90)
Beliau rahimahullah menerangkan ,
“Kewajiban hamba adalah bersikap adil terhadap diri sendiri, keluarga, dan
orangorang yang berada di bawah tanggung jawabnya. Bersikap adil terhadap diri
sendiri artinya tidak memaksakan diri untuk melakukan hal-hal yang tidak
diperintahkan oleh Allah Subhanahu wata’ala.
Bahkan, ia pun harus memerhatikan diri sendiri
saat melakukan kebaikan, dengan cara tidak melakukannya melebihi batas
kemampuan. Oleh sebab itu, saat Abdullah bin Amr bin al-Ash radhiyallahu
‘anhuma menyatakan, ‘Aku akan berpuasa terus dan tidak akan berbuka. Aku
akan shalat malam terus dan tidak akan tidur’, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam, memanggilnya dan melarang hal itu. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,
‘Sesungguhnya dirimu sendiri memiliki
hak, Rabbmu juga memiliki hak, dan keluargamu pun memiliki hak.
Maka dari itu, berikanlah hak masing-masing.’
Demikian juga seorang suami, ia harus bersikap adil
di tengah-tengah keluarga. Siapa saja yang memiliki lebih dari satu istri, ia
harus bersikap adil di antara para istrinya. Sebab, seorang suami yang lebih
cenderung kepada salah satu istri, ia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan
miring sebelah tubuhnya.
Sikap adil juga wajib diwujudkan di antara
anak-anak. Jika Anda memberi satu real kepada salah seorang di antara mereka,
berikan juga senilai itu kepada yang lain. Jika engkau memberi dua real kepada
anak laki-laki, berikanlah satu real kepada anak perempuan. Jika engkau
memberikan satu real kepada anak laki-laki, berikanlah setengah real kepada anak
perempuan.
Bahkan, ulama salaf memerhatikan sikap adil di
antara anak-anak dalam hal ciuman. Jika ia mencium anaknya yang masih kecil
sementara kakaknya ada di situ, ia pun menciumnya juga. Jadi, ia tidak
membeda-bedakan di antara mereka dalam hal ciuman.
Demikian juga dalam hal berbicara, Jangan sampai
Anda berbicara dengan seorang anak dengan nada yang kasar, sedangkan kepada anak
yang lain dengan nada yang lembut. Sikap adil harus juga dijunjung kepada
orang-orang yang berhubungan dengan kita. Jangan Anda berpihak kepada seseorang
hanya karena ia adalah kerabat, orang kaya, orang fakir, atau seorang teman.
Jangan berpihak kepada seseorang, semua orang sama kedudukannya.
Sesungguhnya para ulama rahimahumullah
mengatakan, ‘Harus bersikap adil kepada dua orang yang sedang berseteru,
jika mereka berhukum kepada seorang hakim, dalam hal tutur kata, perhatian,
pembicaraan, tempat duduk, dan cara masuknya. Jangan engkau memandang kepada
salah satunya dengan pandangan marah, namun kepada yang lain dengan pandangan
senang.
Jangan engkau berbicara dengan nada lembut kepada
salah seorang di antara mereka, namun kepada yang lain sebaliknya. Jangan sampai
Anda bertanya kepada salah seorang di antara mereka, ‘Apa kabarmu? Apa kabar
keluargamu? Bagaimana kabar anak-anakmu?’, namun orang kedua engkau biarkan
tanpa pertanyaan. Bersikaplah adil di antara keduanya. Sampai serinci ini.
Demikian juga dalam hal tempat duduk. Jangan Anda mempersilakan salah seorang
darinya duduk dekat di sebelah kananmu sementara yang lain berada jauh
darimu.
Namun, posisikan mereka berdua di hadapanmu dalam
garis yang sama. Bahkan, jika ada seorang muslim bertengkar dengan orang kafir
di hadapan seorang hakim, ia harus bersikap adil di antara keduanya dalam
pembicaraan, cara memandang, dan posisi duduk. Jangan sampai ia mengatakan
kepada si muslim, ‘Kemarilah!’ sementara si kafir diposisikan jauh. Namun, ia
harus memberikan tempat yang sama. Kesimpulannya, sikap adil harus dijunjung
dalam segala hal. (Syarah Riyadhus Shalihin, al-Utsaimin)
Bersikap Adil kepada Istri
Asy-Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad menerangkan
makna hadits di atas, “… Dengan bersikap adil kepada para istri dalam hal
giliran bermalam, nafkah, dan pergaulan. Adapun perasaan yang ada di dalam hati,
hal ini di luar kemampuan manusia dan dikembalikan kepada Allah Subhanahu
wata’ala. Meski demikian, seorang suami tidak boleh bersikap lebih cenderung
kepada istri yang paling ia sayangi dan cintai. Ia harus bersikap adil dalam hal
giliran bermalam, nafkah, dan segala sesuatu yang ia mampu.
Adapun perasaan di hati, tidak ada yang mampu
menentukannya selain Allah k. Akan tetapi, tidak sepantasnya seorang suami lebih
condong kepada salah seorang istrinya. Yang seharusnya ia lakukan adalah
memenuhi hak masingmasing tanpa menyakiti istri yang lain.
Membagi di antara istri dilakukan sebatas
kemampuan yang ia miliki. Jika ada kecenderungan kepada salah seorang istri,
hendaknya ia tetap bertakwa kepada Allah Subhanahu wata’ala agar sikap tersebut
tidak mendorongnya untuk menghilangkan atau mengurangi hak istri lainnya, atau
hanya memberikan sedikit saja dari hak mereka padahal ia mampu. Kewajiban suami
adalah bersikap adil dan seimbang di antara para istri.”
Asy – Syaikh Abdu l Muhsin melanjutkan, “Abu
Dawud membawakan hadits Abu Hurairah z di atas untuk menunjukkan bahwa balasan
yang diperoleh seorang hamba sesuai dengan jenis amalan yang ia perbuat. Pada
hari kiamat kelak, ia datang dengan sebelah tubuh yang miring karena saat di
dunia ia lebih condong kepada salah seorang istri. Hal ini berlaku pada hal-hal
yang sebenarnya ia mampu untuk bersikap adil, namun ia justru bersikap tidak
sepantasnya. Orang semacam ini akan datang pada hari kiamat kelak dengan sebelah
tubuh yang miring.” (Syarah Abu Dawud, al-Abbad)
Oleh sebab itu, seorang muslim yang memiliki
lebih dari seorang istri harus benar-benar berjuang untuk bersikap adil.
Alangkah beratnya hukuman dari Allah Subhanahu wata’ala yang harus dijalani pada
hari kiamat nanti apabila sikap adil tersebut tidak diupayakan dengan maksimal.
Dalam hal-hal yang dapat diberlakukan sikap adil, seorang suami harus mampu
memberikannya.
Apabila kepada salah seorang istri ia dapat
bersikap romantis dengan kata-kata dan wajah berseri, kepada istri yang lain pun
harus bersikap demikian. Memberikan waktu senggang untuk berbincangbincang harus
dapat terwujud kepada semua istri. Hadiah tidak hanya diberikan kepada salah
seorang istri, namun kepada seluruh istri. Demikian pula halnya perhatian kepada
anak-anaknya, haruslah sama antara anak dari istri yang satu dengan istri
lainnya.
Perhatikanlah teladan dari Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam,! Betapa pun dirasa berat, beliau tetap
berjuang untuk bersikap adil. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
tetap memerhatikan waktu menggilir meskipun beliau sedang sakit. Padahal keadaan
beliau benar-benar payah.
Al – Imam al – Bukhari rahimahullah
meriwayatkan dari ‘Aisyah x bahwa pada saat sakit yang berujung wafatnya,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam selalu menanyakan,
أَيْنَ أَنَا غَدًا، أَيْنَ أَنَا غَدًا؟
“Di manakah aku besok? Di manakah aku
besok?”
Beliau berharap di rumah Aisyah radhiyallahu
‘anha. Istri-istri beliau yang lain pun mengizinkan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berada di rumah
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha sampai meninggalnya. Aisyah radhiyallahu
‘anha berkata kepada Urwah bin az-Zubair rahimahullah, “Dahulu,
Rasulullah tidak melebihkan salah seorang di antara kami (para istri) dalam
jadwal giliran bermalam.
Dahulu, kebiasaan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam, jarang sekali hari berlalu kecuali beliau pasti
berkeliling di antara kami semua. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam
mendekati tiap istri tanpa berhubungan sampai pada istri yang memiliki giliran
lalu menginap (bermalam) di sana. Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan,
”Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di antara ulama tentang
wajibnya menggilir dan kesamaan waktu untuk menggilir di antara para istri.”
Adapun dalam hal besar kecilnya rasa cinta dan
ketertarikan untuk berhubungan badan, hal ini di luar kemampuan hamba.
sebagaimana tercelanya orang yangmmemakai dua potong pakaian
kedustaan.m(al-Minhaj, 14/336)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
memberikan permisalanmseperti dalam hadits di atas agar paramperempuan menjauhi
perbuatan tersebut,mkarena akibat yang ditimbulkannyamtidaklah remeh. Perbuatan
itu bisammerusak hubungan suami dengan simmadu yang dipanas-panasi dan
bisanmembuat kebencian di antara keduanya,nsehingga perbuatan tersebut seperti
sihir yang bisa memisahkan antara suami dan istrinya. (Fathul Bari
9/394—395) Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
No comments :
Post a Comment